Monday, September 2, 2013

Hitler Bersumpah dengan Nama Allah

"Karena dia merasa kagum pada Peradaban Islam, dia telah mencetak panduan mengenai Islam dan diedarkan kepada tentara Nazi sewaktu perang, walaupun kepada tentara yang non-Muslim."

Yang Anda baca berikut ini adalah terjemahan dari sebuah email berbahasa Malaysia dari milis ikasmanca@yahoogroups:

Rasa hormat saya pada lelaki agung ini, Adolf Hitler, semoga ada yang meniru jejaknya pada jaman sekarang.

Saya mengobrol dengan saudara saya yang sedang menyelesaikan tesis PhD-nya. Saya amat terkejut ketika dia menyatakan tesis beliau mengenai Adolf Hitler, pemimpin Nazi. Lalu saya bertanya,”Sudah tiadakah tokoh-tokoh Islam di dunia ini hingga engkau memilih si bodoh ini menjadi tema tesismu?”

Dia tertawa lalu bertanya apa yang saya ketahui tentang Hitler.

Saya jawab bahwa Hitler adalah seorang pembunuh yang membunuh semuanya dan menganggap bangsa Jerman di atas segala bangsa lain. Lalu dia bertanya darimana sumber saya. Dari TV tentunya, jawab saya. Lalu saya katakan bahwa Hitler membunuh semua manusia. Kemudian dia berkata,” Baiklah, pihak Inggris telah melakukan yang lebih keji dari itu. Pihak Jepang semasa kekaisaran juga sama. Namun, mengapa dunia hanya menghukum Hitler dan menjelek-jelekkan nama Nazi seolah-olah Nazi masih berwujud hingga hari ini sementara dunia melupakan kesalahan Inggris terhadap Skotlandia, Jepang terhadap dunia dan Afrika Selatan terhadap warga kulit hitam-nya?

Saya lantas meminta jawabannya. Dia meneruskan,” Ada dua alasan :

1. Prinsip Hitler mengenai Yahudi, Zionisme dan proses berdirinya negara Israel. Hitler telah melancarkan Holocaust untuk membasmi Yahudi karena beranggapan nantinya Yahudi akan menjerumuskan dunia.

2. Prinsip Hitler mengenai Islam. Hitler telah mempelajari sejarah kerajaan terdahulu dan umat yang lampau, dan dia telah menyatakan bahwa ada tiga peradaban yang terkuat yaitu Persia, Romawi dan Arab. Ketiganya telah menguasai dunia pada masa lalu. Sementara Persia dan Romawi masih melanjutkan peradaban mereka hingga hari ini, namun Arab hanya bertengkar dengan sesamanya. Dia melihat ini sebagai satu masalah karena Arab akan merobohkan Peradaban Islam yang dia telah lihat begitu hebat pada masa lalu.

Karena dia merasa kagum pada Peradaban Islam, dia telah mencetak panduan mengenai Islam dan diedarkan kepada tentara Nazi sewaktu perang, walaupun kepada tentara yang non-Muslim.

Beliau juga memberi kesempatan tentara Jerman yang muslim untuk menunaikan sholat ketika masuk waktunya di manapun juga…bahkan tentara Jerman pernah sholat di Lapangan Berlin dan Hitler menunggu hingga mereka menyelesaikan sholat jamaah untuk menyampaikan pidatonya.

Hitler juga sering bertemu dengan para Ulama dan meminta pendapat mereka serta belajar dari mereka tentang agama dan kisah para sahabat dalam menyusun strategi…
Dia juga meminta para Syeh untuk mendampingi tentaranya dan mendoakan mereka yang non-muslim dan memberi semangat kepada tentara muslim untuk memerangi Yahudi…

Semua data ini adalah hasil kajian sejarah yang dilakukan oleh saudara saya untuk tesis PhD-nya dan dia meminta saya untuk tidak menambahi apapun supaya tidak menyusahkannya ketika memaparkannya nanti. Dia melarang saya memadukan kajian ini dengan data-data dari internet karena saya bukan pakar bidang sejarah. Tetapi gambar-gambar yang ada di sini sudah lama tersebar dan semua orang boleh melihatnya di internet.

Namun, saya tetap mencari data tambahan dari internet dan menemukan beberapa hal yang menarik:

1) Pengaruh Al-Quran di dalam ucapan Hitler.
Ketika tentara Nazi tiba di Moscow, Hitler berniat menyampaikan pidato. Dia memerintahkan para penasihatnya untuk mencari kata-kata pembukaan yang agung dari kitab suci, kata-kata ahli filsafat ataupun dari bait syair. Seorang sastrawan Iraq yang tanggal di Jerman memberi masukan ayat Al-Quran yang artinya : Telah dekat Hari Kiamat dan telah terbelah bulan…

Hitler merasa kagum dengan ayat ini dan menggunakannya sebagai kalimat pembukaan dan isi kandungan pidatonya. Memang para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat tersebut bermakna keagungan, kekuatan dan arti yang mendalam.

Hal ini dinyatakan Hitler dalam bukunya Mein Kampf yang ditulis di penjara bahwa segala tindakannya berdasarkan Al-Quran khususnya tindakannya terhadap Yahudi..

2) Hitler bersumpah dengan nama Allah yang Maha Besar

Hitler telah memasukkan sumpah dengan nama Allah yang Maha Besar di dalam ikrar pimpinan tentaranya yang akan tamat belajar di Akademi tentara Jerman.

” Saya bersumpah dengan nama Allah (Tuhan) yang Maha Besar dan inilah sumpah suci saya, bahwa saya akan mematuhi semua perintah pimpinan tentara Jerman dan pemimpinnya Adolf Hitler, panglima tertinggi, bahwa saya akan selalu bersedia untuk mengorbankan nyawa saya kapanpun demi pemimpin saya”

3) Hitler pantang meminum arak ketika dia gemetar saat keadaan pasukan Jerman sedang goncang dan berbahaya. Waktu itu para dokter memintanya meminum arak sebagai obat dan beliau menolak sambil berkata,” Bagaimana anda ingin menyuruh seseorang minum arak untuk pengobatan sedangkan dia seumur hidupnya tak pernah menyentuh arak?”

Ya, Hitler tidak pernah menyentuh arak sepanjang hayat…minuman kegemarannya adalah teh celup yang khas…

Tujuan penulisan ini bukanlah untuk membela apa yang telah dilakukan Hitler, tetapi hanya bertujuan untuk menyingkap apa yang disembunyikan oleh pihak Barat. Semoga kita semua memperoleh manfaat. (sumber: ekoh4ryanto.wordpress.com)

Sumber: MUSLIMINA

Sunday, September 1, 2013

"Wasiat Paling Menakjubkan dari Syuhada Rab'aa"



 Kairo - Masih ingat gambar ini? Gambar ini memperlihatkan salah seorang korban luka yang sedang dievakuasi oleh seorang demonstran yang lain. Ini terjadi saat militer dan polisi membantai demonstran di Rab’ah 14 Agustus yang lalu. Tak ada yang mengira, banyak pelajaran di balik gambar ini.

Korban terluka bernama Muhammad Utsman. Berasal dari kota Abul Mathamir, propinsi Buhaira. Beliau adalah pengantin baru, umurnya 27 tahun, hafal Al-Qur’an, dan berasal dari keluarga ulama.

Wajih Shabah, seorang saksi mata yang merupakan guru bahasa Arab dari desa yang sama menyampaikan kesaksiannya, “Muhammad Utsman terkena peluru pada pembantaian di Rab’ah. Maka ada seorang demonstran lain yang berusaha mengevakuasinya. Tapi sniper kudeta dengan tanpa ampun menembak orang yang menolong itu juga. Sehingga banyak orang memberi judul “syahid membopong syahid”.

Begitu terjatuh dari orang yang membawanya, Utsman memanggilku dengan histeris. Dia berusaha sekuat tenaga membisikkan sebuah wasiat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

Anehnya, yang beliau bisikkan bukan wasiat menitipkan orangtua dan isterinya. Wasiatnya, “Aku berhutang pulsa 3 pounds kepada vodafone. Tolong kamu bayarkan ya…” Vodafone adalah sebuah perusahaan jaringan telepon selular.

Ketaqwaanlah yang membuat syahid ini mengingat hutang pulsanya yang tidak mencapai setengah dollar itu. Padahal media-media Mesir menyebarkan isu bahwa demonstran Rab’ah berdemo karena dibagi-bagi uang.

Baru sempat dibaca,sampai tdk bisa menahan tangis...ya Allah Engkau jadikan Mesir sebagai pembelajaran yg nyata dr -Mu

Subhannalllah...Allahumma amitna ala syahadati fi sabilik...


Keterbukaan Rasulullah SAW Memberi Maaf Kunci Utama Keberhasilan Dakwah Islam

قَالَ اللهُ تَعَالَى: (فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ). (Ali Imran(03): 159)

وَقَالَ تَعَالَى: (لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ).
(At-Taubah(09): 128)


Keterbukaan hati menerima perbedaan dan kekurangan, mendengar sanggahan, memaafkan kesalahan, dan cinta damai, kunci utama keberhasilan dakwah. Yang terbuka hatinya mampu menyikapi dan memecahkan masalah, meluruskan yang bengkok dan menyambung yang patah, mengayomi dengan bijak, merangkul yang jauh, menghangatkan suasana, menyakini titik temu (sikap dan pikir) terdapat di pelbagai pintu kehidupan, sementara titik beda dapat diperkecil lobangnya, ditutup rapat dan ditimbun dengan benih-benih kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama.
 Rasulullah Saw hamba Allah SWT yang paling terbuka menyikapi kehidupan; terbuka mendengarkan keluh-kesah umat, meski itu datang dari rakyat jelata, terbuka menerima perbedaan, meski itu datang dari musuh-musuh Islam yang tidak diragukan lagi kebencian dan kedengkian mereka terhadap keberhasilan dakwahnya, merangkul semua pecinta dan perindunya dari sahabat tanpa membedakan kasta dan derajat sosial mereka, terbuka menerima ejekan dan penghinaan yang lahir dari kebodohan mereka terhadap hakikat syariat, dan terbuka memberi maaf, meski itu sulit dimaafkan menurut kita, orang-orang awam.

Seseorang yang terbuka menerima perbedaan, boleh jadi menemukan kejanggalan di hatinya tatkala ingin memberi maaf. Dia dengan ringan membuka hati mendengar dalil dan argumen lawan, tetapi belum tentu hatinya lapang memaafkan orang-orang yang pernah menginjak-injak kehormatan 

dirinya. Telinga tidak punya beban menyimak, tetapi lidah kadang terasa berat mengucap kata maaf dan tangan seperti terpaku oleh sikap dingin yang enggan diulurkan memberi maaf. Tetapi, fitrah Rasulullah Saw melampaui semua sifat-sifat tersebut yang lumrah ditemukan di masyarakat awam dan mencontohkan keterbukaannya untuk diteladani umat di kemudian hari. Sungguh, ini keistimewaan tersendiri terhadap etika gaul dan muamalah Rasulullah Saw yang menakjubkan.

Perang uhud salah satu kejadian yang paling berat dirasakan Rasulullah Saw, tetapi yang terberat dari itu, seperti penuturan Sayyidah Aisyah RA, kejadian hari Aqabah di saat Ibn Abdu Yâlil bin Abdu Kulâl dan orang-orang musyrik menolak ajakannya memeluk Islam. Kejadian pahit ini melukahi perasaannya sehingga itu terlihat dengan jelas di mukanya yang dirundung duka. Jibril AS pun mendatanginya dan berkata: “Sesungguhnya Allah SWT mendengar dan mengetahui sikap mereka yang enggan menerima dakwah Islam. Olehnya itu, Allah mengutus malaikat gunung-gunung untuk mengikuti apa pun yang Anda perintahkan.” Malaikat itu pun memberi salam dan berkata: “Wahai Muhammad, Jika Anda menginginkan kehancuran mereka, saya dapat mengurung dan menjepit mereka dengan kedua pegunungan besar dan panjang yang mengitari kota Mekah.” Jawabnya: “yang saya inginkan, Allah  SWT akan mengeluarkan dari tulang rusuk mereka keturunan yang menyembah Allah SWT dan menyucikan-Nya dari kemusyrikan.” (Hadits riwayat Shahih Imam Bukhari dan Imam Muslim)

Tentunya, ini keistimewaan tersendiri terhadapnya. Umumnya, yang dizalimi jika ditawari tawaran seperti ini, ia akan menerima dan menghitungnya sebagai kelebihan tersendiri terhadap dirinya. Bahkan tidak sedikit nabi-nabi Allah SWT yang menginginkan kemusnahan kaum mereka yang tidak beriman. Tetapi Rasulullah Saw mengukir sejarah tunggal yang mengabadikan namanya sebagai nabi yang paling peduli dan pemaaf terhadap kaumnya, meskipun penyiksaan dan pembangkangan mereka di luar batas kemanusiaan. Bahkan, yang lebih menakjubkan lagi jika sikap keras kepala mereka diabaikan Rasulullah Saw dan dijawab dengan doa pengampunan terhadap mereka: “Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui hakikat agama yang aku emban.” (Hadits riwayat Shahih Imam Bukhari dan Imam Muslim)

Rasulullah Saw telah mengasihani dan menyanyangi kita, tetapi apakah pernah kita memikirkan itu dan tersentuh olehnya? Sekarang, jawablah kasih sayang tersebut dengan meneladaninya di setiap kesempatan.
Yang diketahui juga Rasulullah Saw keluar terusir dari kota Mekah di malam hari dan kembali menaklukkannya di siang hari setelah menghancurkan patung-patung yang tergantung mengotori Ka’bah. Masyarakat Mekah panik dan takut melihat kejadian tersebut seperti tidak percaya apa yang sedang ditonton oleh mata telanjang mereka. Rasulullah Saw dengan ringan bertanya: “apa yang engkau sekalian kira aku akan menjatuhkannya kepadamu?” mereka dengan etika diplomasi mengharap keringanan dan maaf menjawab: “saudara (maksudnya Rasulullah Saw) mulia dan anak dari saudara kami yang mulia,” ucapan ini cukup menggugah dan menyentuh hati Rasulullah Saw yang mendorongnya bersikap lunak dan bersaudara terhadap mereka dan memberi pernyataan maaf yang tidak pernah hilang dari ingatan umat: “pergilah, kalian semua dibebaskan, selamat dan terjaga harta dan kehormatan kalian untuk disentuh dan dikotori.” Rumah-rumah masyarakat Mekah yang terkunci rapat dan takut invasi Rasulullah Saw, kini terbuka lebar menerima kedatangannya dan mereka pun berbondong-bondong membaiatnya.”

Memberi maaf kadang memberi sentuhan kehidupan yang tidak terduga dan itu menjadi perekat sosial yang menumbuhkembangkan rasa cinta dan kasih sayang antar sesama. Siapa yang menduga telinganya akan terkorek oleh ucapan maaf dari orang yang pernah ia sakiti? Siapa yang mengira tangannya akan terguncang hebat dijabat oleh orang yang pernah ia zalimi memberi maaf? Di sini Rasulullah Saw telah menjadi obor terang kehidupan yang mencontohkan sifat ringan memberi maaf yang melahirkan ketentraman sosial di antara elemen masyarakat.

Jangan kira meminta maaf itu meruntuhkan kehormatan jati diri karena takut dipandang remeh, justru itu langkah awal yang menyuguhkan kebaikan-kebaikan yang tidak terduga! Jangan kira memberi maaf itu kemuliaan diri Anda sendiri, tetapi itu salah satu bentuk kepatuhan Anda terhadap teks-teks syariat yang menganjurkan Anda memberi maaf dengan ikhlas karena Allah! Yang demikian itu supaya pahala Anda tidak runtuh hanya karena dikendarai rasa puji diri.

Contoh lain, di Sunan Imam Abu Daud Rasulullah Saw ditemani Sayyidina Anas RA di sebuah perjalanan, tiba-tiba dikagetkan oleh sosok bayangan yang menyambar sekilat petir selendang Nejeran Rasulullah Saw yang melilit kuat di lehernya sehingga meninggalkan bekas merah di lehernya. Yang bersama dengan Rasulullah Saw dari sahabat tidak menerima perbuatan tersebut dan ingin balik memberikan pelajaran terhadap orang tersebut yang tidak terlupakan dalam lembaran-lembaran hidupnya. Namun, Rasulullah Saw menengoknya dan memberi senyum kesejukan yang mengusir rasa takut dalam dirinya dan memerintahkan selendang Nejerannya itu untuk dihadiahkan untuknya. Seandainya saja orang tersebut dilukai sahabat atau dibunuh karena praduga salah, orang ini akan terzalimi dan semuanya pun ikut bersalah. Sikap dingin Rasulullah Saw ini memecah keheningan suasana dengan kehangatan senyumnya yang menyejukkan hati.

Seperti yang diriwayatkan Shahih Imam Muslim, Rasulullah Saw tidak pernah memukul sesuatu di tangannya, seorang perempuan atau hamba sahaya, kecuali di jalan Allah SWT berjihad. Yang demikian itu karena tangan identik dengan kekerasan, sementara itu, Rasulullah Saw tidak pernah ditemukan melakukan balas dendam hanya karena kepentingan dirinya sendiri, tetapi dia ditemukan melakukannya jika kehormatan Allah SWT telah dinodai dan diinjak-injak.

Sungguh ini sebuah keistimewaan yang luar biasa. Hematnya, tidak ada satu pun dari pemerhati nilai-nilai kemanusiaan kecuali tunduk mengakui keistimewaan ini yang menempatkan Rasulullah Saw sebagai “the greatest one” yang paling bersinar memaknai dan mewarnai kehidupan dengan nilai-nilai islami. Hal yang sama ditemukan di Sayyidina Ali RA yang tidak menghujani musuh yang meludahi mukanya setelah kalah tanding dengan tikaman dan tebasan pedang. Yang demikian itu Sayyidina Ali RA takut orang tersebut terbunuh dengan zalim, terbunuh dengan motif balas dendam yang dipengaruhi hawa nafsu, bukan karena Allah SWT semata di jalan jihad. Sikap jantan dan luar biasa ini menuntun musuhnya memeluluk Islam dan mengakui keagungan dan keindahannya. 

Alhamdulillah yang memperlihatkan kilauan kebenaran hakikat agama ini di tangan Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Mereka menyakini bahwa yang kuat itu bukan yang keras kepalan tangannya meninju atau menampar, tetapi yang kuat itu yang mampu menguasai diri dan mengendalikan emosinya di saat marah.

Hematnya, Rasulullah Saw telah memberi gambaran hidup terhadap teks-teks syariat yang menganjurkan keterbukaan memberi maaf. Olehnya itu, ia disifati sebagai pengemban syariat Allah yang berakhlak mulia, punya kedudukan paling tinggi di sisi Allah SWT. Yang demikian itu karena Rasulullah Saw hamba terbaik dalam menafsirkan dan memaknai nama-nama Allah yang terkait dengan tema ini, seperti: (الرحمن), (الرحيم), (الغفار), (الكريم), (الغفار), (العفو), (الرؤوف).

Olehnya itu, maaf-memaafkan terhitung rukun lingkungan masyarakat yang menjaga roda sosial tetap berjalan dengan penuh keseimbangan di atas rel kehidupan. Dia tiang dan sandaran yang tidak pernah roboh menopang bagi siapa saja yang ingin menghidupkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari. Yang demikian itu karena seandainya setiap orang yang dizalimi mengikuti nafsunya balas dendam, maka masyarakat ini akan runtuh. Satu penumpang saja melakukan kerusakan di kapal dengan membuka papan-papan sandarannya atau mencopot tiang layarnya, dipastikan semua penumpangnya terancam ombak yang setiap waktu siap menelan korban. Apalagi jika yang melakukannya lebih dari satu orang. Jika setetes darah saja mengalir dari satu orang yang dizalimi mewariskan pilu dan sedih, bagaimana jika darah itu mengucur kuat dari korban-korban kekerasan yang menindas?

Sadar hal ini, wajib bagi setiap lapisan masyarakat saling memaafkan, menempatkan kebaikan di atas segala-galanya, menjadikan santun ganti dari amarah, membongkar kata hati yang menghembuskan niat-niat jahat dengan sabar. Masyarakat seperti ini masyarakat mulia yang membangun stabilitas keamanan dan kekokohannya dengan menciptakan solidaritas persatuan dan persaudaraan yang kuat. Masyarakat islami yang didambakan para pecinta masyarakat ideal dari kalangan pemikir dan orientalis Eropa.

Memberi maaf seperti yang diriwayatkan hadits-hadits nabi memiliki kemuliaan yang tidak terhingga. Dia mewariskan keagungan, kasih sayang antar sesama, mengangkat derajat, menghapus keburukan, dan menjanjikan pahala yang besarnya hanya diketahui Allah SWT.

Di penghujung tulisan ini, saya mengajak pemerhati keistimewaan Rasulullah Saw menyuarakan kesimpulan berikut:

“Memberi maaf tidak mewariskan kecuali kebaikan dan kemuliaan. Masyarakat islami yang ideal masyarakat yang hidup bersandarkan dan berpegangan dengan sifat mulia ini. Memberi maaf sangat mulia karena ia tafsiran kuat dan pemaknaan tinggi terhadap nama-nama Allah, seperti: (الرحمن), (الرحيم), (الغفار), (الكريم), (الغفار), (العفو), (الرؤوف). Karena Rasulullah Saw hamba Allah yang paling baik menafsirkan dan memaknai Asmaullahi al-Husna, ia pun pemakna dan penafsir tidak tertandingi dalam menghidupkan maaf-memaafkan ( الصفح,العفو) seperti yang diperintahkan teks-teks syariat yang memenuhi ruang-ruang kehidupan dengan persaudaraan dan persatuan yang kokoh sehingga semua lapisan masyarakat terpadu meraih kesejahteraan dan keselamatan dunia-akhirat. Keistimewaan Rasulullah Saw ini patut disyukuri dan lebih mendekatkan diri kita ke pengamalan sunnah-sunnahya. Amin ya Rabbal Alamin.”

Sumber: dakwatuna.com

Kabar Gembira dari Dr. Aidh Qarni

Dr. Aidh Qarni, ulama Saudi
26 Agustus 2013
Dr. Aidh Qarni, ulama Saudi


Dr. Aidh Qarni seorang ulama di Saudi yang terkenal dengan bukunya “La Tahzan” menulis di ansarportsaid.net hari Sabtu 24 Agustus 2013 tentang bagaimana seorang muslim menyikapi kondisi Mesir saat ini. Berikut cuplikan tulisan beliau:

Ketika aku sedang menagis karena meratapi apa yang menimpa umat ini di seluruh dunia Islam, terutama di Mesir dan Suriah, ada seorang kawanku datang bertanya, “Kenapa kau bersedih?” Aku menjawab, “Aku bersedih karena agamaku sedang dalam kesulitan.” Diapun menjawab, “Islam adalah agama Allah swt. Dia sendiri yang akan menolongnya. Bukankah Allah swt. berfirman, ‘”Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang”. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.’” [Al-Mujadilah: 21].

Aku berkata, “Kalau begitu, aku menangis karena orang-orang yang dibunuh secara dhalim.” Dia pun menjawab, “Mereka telah berbahagia, in sya’a Allah, hidup dan mendapatkan rezeki di sisi Allah swt.”

Aku berkata, “Kalau begitu, aku menangis karena orang-orang yang terluka, tertawan dan tertindah.” Dia menjawab, “Segala musibah yang menimpa seorang muslim, hingga duri yang menusuknya, pasti akan menjadi penghapus dosa dan kesalahannya. Ujian dari Allah swt adalah kaffaratudz dzunub.”

Aku berkata, “Kalau begitu, aku menangis karena janda yang kehilangan suaminya, anak yatim yang kehilangan ayahnya.” Dia menjawab, “Allah swt. akan menolong mereka. Karena Allah swt. adalah penolong bagi orang-orang yang shalih.”

Aku berkata, “Kalau begitu aku menangis karena ibu yang kehilangan anak-anaknya, atau orang yang kehilangan orang-orang yang dikasihinya.” Dia menjawab, “Hanya orang yang sabar, yang pahalanya diberikan tanpa hitung-hitung.”

Aku berkata, “Aku bersedih karena ahli kebatilan berkuasa di bumi ini, mengalahkan ahli kebenaran.” Dia menjawab “Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahanam; dan Jahanam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” [Ali Imran: 196-197].

Dia pun mengakhiri pembicaraan kita dengan sebuah nasihat, “Karena itulah tidak ada alasan kita menangis. Hapuslah airmatamu. Yakinilah janji Allah swt. Kalau Dia sudah berjanji, tidak ada yang akan bisa menghalanginya. Perbaikilah dirimu sehingga menjadi orang yang layak termasuk dalam firman Allah swt. “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” [Al-Qashash: 83]. 




Sumber: dakwatuna.com

Putra Khalifah Menjadi Kuli

Ilustrasi. (inet)

Dikisahkan dalam kitab At-Tawwabin karya Ibnu Qudamah tentang seorang putra khalifah yang meninggalkan kehidupan mewah di istana dan menjadi seorang kuli panggul.

Suatu hari ‘Abdullah bin Faraj Al-Abid memerlukan buruh harian untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Maka ia pun pergi ke pasar. Sesampainya di sana, ia menemukan sekumpulan buruh harian. Ternyata di barisan paling belakangnya ada seorang pemuda berjubah dan berpakaian dari bulu yang wajahnya pucat pasi. Ia tengah membawa keranjang besar.

“Kamu mau bekerja?” tanya ‘Abdullah bin Faraj kepadanya.

“Ya,” jawabnya.

“Berapa bayarannya?”

“Satu seperenam dirham.”

“Baiklah!”

“Tapi, ada syaratnya.”

“Apa syaratnya?” tanya ‘Abdullah bin Faraj.

“Jika waktu Zhuhur tiba dan muadzin telah mengumandangkan adzan, aku akan berhenti bekerja; kemudian bersuci dan menunaikan shalat secara berjamaah di masjid. Lalu kembali bekerja lagi. Demikian pula pada waktu shalat Ashar,” pintanya.

“Baiklah!”

‘Abdullah bin Faraj menyuruhnya memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Pemuda itu pun mengikat tubuhnya lalu mulai bekerja dan sama sekali tidak mengajak ‘Abdullah bicara hingga muadzin mengumandangkan adzan Zhuhur.

“Hai, hamba Allah. Muadzin telah mengumandangkan adzan,” serunya.

“Silakan!” jawab ‘Abdullah.

Ia pergi dan menunaikan shalat. Setelah pulang, ia kembali bekerja dengan baik hingga waktu Ashar, ketika muadzin mengumandangkan adzan.

“Hai, hamba Allah. Muadzin telah mengumandangkan adzan,” serunya.

“Silakan!” jawab ‘Abdullah.

Ia pergi dan menunaikan shalat Ashar. Setelah pulang, ia kembali bekerja hingga sore. ‘Abdullah kemudian memberinya upah. Setelah itu, pemuda tersebut pulang.

Beberapa waktu berselang, ‘Abdullah bin Faraj membutuhkan lagi seorang buruh.

“Carilah buruh muda kemarin. Sungguh ia telah member teladan kepada kita ketika bekerja,” pinta istrinya.

‘Abdullah pergi ke pasar, namun tidak melihatnya. Ia menanyakan kepada orang-orang di pasar.
“Anda menanyakan pemuda yang pucat dan lemah yang tidak kami lihat selain hari Sabtu dan yang tidak duduk kecuali sendirian di bagian belakang?” jawab orang di pasar.

Maka ‘Abdullah pun pulang. Barulah pada hari Sabtu ia pergi ke pasar. Benar, ia pun menemukannya.

“Kamu mau bekerja?”

“Anda telah mengetahui upah dan syaratnya.”

“Ya, aku menyetujuinya.”

Ia bangkit dan bekerja dengan baik seperti sebelumnya. Ketika tiba saatnya memberi upah, ‘Abdullah menambahinya. Ternyata pemuda itu menolak menerima tambahannya. Namun, ‘Abdullah memaksanya untuk menerima. Kali ini pemuda itu merasa risih sehingga ia pergi meninggalkan ‘Abdullah. ‘Abdullah merasa tidak enak. Ia pun membuntuti dan membujuknya sampai akhirnya ia mau menerima, tetapi hanya upahnya saja.

Beberapa waktu kemudian, ‘Abdullah kembali hendak memerlukannya. Ia pergi ke pasar pada hari Sabtu namun ia tidak menemukannya.

“Ia sakit,” jawab seseorang.

“Ia hanya datang ke pasar setiap hari Sabtu untuk bekerja dengan upah satu seperenam dirham. Setiap hari ia menghabiskan seperenam dirham untuk makan. Dan kini ia telah jatuh sakit.

‘Abdullah menanyakan rumahnya untuk membesuk.

Dijumpainya seorang wanita tua.

“Apakah di sini tinggal seorang pemuda yang biasa bekerja sebagai buruh harian?” tanya ‘Abdullah kepada wanita tua yang ternyata pemilik rumah.

“Ia sakit sejak beberapa hari yang lalu.”

‘Abdullah masuk dan mendapatinya sakit dengan berbantalkan batu bata. Setelah mengucap salam kepadanya, ‘Abdullah bertanya, “Apakah kamu mempunyai suatu keperluan?”

“Ya, jika Anda mau memenuhinya,” jawabnya.

“Ya, aku mau memenuhinya.”

“Setelah aku mati nanti, juallah tali ini dan cucilah jubah dan kain dari bulu ini. Kemudian kafanilah aku dengannya. Setelah itu, bukalah saku ini karena di dalamnya ada sebuah cincin. Lalu pada saat Harun Ar-Rasyid lewat, berdirilah di tempat yang terlihat olehnya, bicaralah, dan perlihatkan cincin itu kepadanya. Jangan lakukan ini kecuali setelah aku dikuburkan.”

“Baiklah!” jawab ‘Abdullah.

Setelah ia meninggal, ‘Abdullah bermaksud melakukan apa yang dimintanya. Suatu hari, dengan duduk di sisi jalan, ia menanti lewatnya Harun Ar-Rasyid. Harun Ar-Rasyid melintas di hadapannya.
“Wahai Amirul Mukminin, ada titipan untukmu padaku!” seru ‘Abdullah seraya memperlihatkan cincin itu. Namun, Harun Ar-Rasyid menyuruh anak buahnya menangkap ‘Abdullah untuk dibawa ke istana.

Sesampainya di sana, Harun Ar-Rasyid memanggil ‘Abdullah dan menyuruh keluar semua orang yang ada di tempat itu.

“Siapa Anda?” tanya Harun Ar-Rasyid.

“’Abdullah bin Faraj.”

“Dari mana kamu mendapatkan cincin itu?”

‘Abdullah bin Faraj kemudian menuturkan kisah pemuda yang pernah ditemuinya. Tiba-tiba Harun Ar-Rasyid menangis hingga ‘Abdullah merasa iba. Setelah kembali tenang, ‘Abdullah memberanikan diri untuk bertanya.

“Wahai Amirul Mukminin, ada hubungan apa antara dia dengan Anda?”

“Ia anakku.”

“Bagaimana ia bisa seperti itu?”

“Ia lahir sebelum aku diangkat menjadi khalifah. Lalu tumbuh sebagai anak yang baik, yang belajar Al-Quran serta ilmu-ilmu lainnya. Namun, ketika aku telah diangkat menjadi khalifah, ia meninggalkanku dan tidak mau menikmati sedikit pun dari kenikmatan yang aku peroleh. Aku kemudian memberikan cincin ini –cincin yaqut yang harganya sangat mahal– kepada ibunya sambil mengatakan, ‘Berikan ini kepadanya (karena ia sangat patuh kepada ibunya), dan suruhlah ia selalu membawanya. Siapa tahu sewaktu-waktu ia membutuhkannya’. Lalu ibunya meninggal dan saya sama sekali tidak mengetahui kabar beritanya hingga Anda datang memberitahukannya kepadaku ini,” jelas Harun Ar-Rasyid.

“Jika malam telah tiba, tunjukkanlah aku kuburannya.”

Dan kala malam telah gelap, keduanya pergi tanpa pengawalan hingga tiba di kuburan putranya. Harun Ar-Rasyid duduk di dekatnya dan menangis. Ketika fajar menyingsing, mereka bangkit untuk pulang.

“Temanilah aku menziarahi kuburnya beberapa malam lagi,” pinta Harun Ar-Rasyid. Pada malam berikutnya, ‘Abdullah bin Faraj menemaninya. []

Sumber: dakwatuna.com
Flower 53