TIDUR NELENTANG BISA MATI
Suatu malam, di sebuah villa di kawasan punca, para peserta dauroh
(training) terlihat letih bersama Ustadz Rahmat Abdullah, berniat
merebahkan tubuh mereka untuk beristirahat. Sang ustadz yang melihat
mereka berbaring di atas lantai tak lupa berpesan, ”hei, kalian jangan
tidur nelentang, ya. Kalian bisa mati nanti.”
Mendengar
perkataan yang sepertinya serius itu, mereka buru-buru memperbaiki
posisi tidur. Tapi nasehat ini terasa aneh, sehingga membuat mereka
terdiam dan berfikir.
Salah seorang peserta memberanikan diri bertanya, ”lho, kok begitu, Ustadz?’
Sang
ustadz yang ditanya diam tak berkomentar. Sementara yang lain sibuk
memikirkan apa yang dimaksud ustadz sebenarnya. Tak lama kemudian,
mereka semua tergelak tertawa, sebab ternyata yang dimaksud nelentang
oleh sang ustadz bukanlah posisi terlentang seperti yang mereka sangka.
Tetapi yang dimaksud adalah nelen tang.
Nelen biskuit sambil tiduran aja bisa keselek, apalagi nelen tang!
LAGU-LAGU TENTARA
Dalam suatu kegiatan i’tikaf di
sebuah masjid, Ustadz Rahmat Abdullah mendapat kesempatan memberi
ceramah subuh untuk para peserta. Namun, karena mereka sepanjang malam
mengikuti qiyamul lail, sebagian peserta terlihat tak kuasa menahan kantuk.
Melihat
kondisi itu, Ustadz Rahmat tidak kehabisan akal. Dalam ceramahnya ia
sispkan humor yang menyindir kehidupan tentara. ”Yang namanya tentara
itu di masing-masing pangkat punya lagu heroik sendiri-sendiri. Kalau
masih bepangkat prajurit, lagunya:’Maju tak gentar, membela yang
benar...,’” katanya sambil menyanyikan lagu itu dengan lantang. ”Tapi, kalo sudah jadi sersan lagunya:’Padamu negeri kami berjanji...,’” katanya meneruskan ceritanya. ”Nah, kalo sudah perwira lagunya lebih gembira:’Disini senang, disana senang, dimana-man hatiku senang.”
Jama’ah tertawa. Kantuk pun hilang.
KAMAA AMAR
Siang
itu, di kawasan puncak, Ustadz Rahmat Abdullah dengan para pengurus
Yayasan Iqro sedang istirahat dari acara rapat tahunan yayasan. Sambil
duduk lesehan menghadapi hidangan makan siang, salah seorang meminta
sang ustadz bercerita untuk menghibur mereka. Maklum, meskipun ustadz
yang satu ini sering kelihatan serius, tapi ia punya segudang cerita
yang bisa membuat tergelak orang yang mendengarnya.
Salah
satu ceritanya yang membuat semua orang tertawa siang itu adalah,
”suatu Jum’at, naiklah seorang khatib menyampaikan khutbah. Di awal
khutbah kedua, sang khatib membaca kalimat pembuka yang ada lafadz ‘kamaa amar’.
Kebetulan waktu itu, salah seorang jama’ah ada orang Padang tulen
bernama Amar. Mendengar khatib mengucapkan kalimat itu, jama’ah itu
tiba-tiba berdiri dan berkata,”Ambo di siko, Pak Ustadz!”
Ternyata Amar berdiri karena menyangka dirinya sedang dicari pak khotib. Maklum, kamaa amar dalam bahasa Padang artinya ’kemana si Amar?’
KAKIKU KAU INJAK BUNG
”Dulu
ada kesan orang Sumatera khususnya Sumatera Utara, terutama setelah
kasus, PRRI, bahwa orang Jawa identik dengan tentara. Sehingga mereka
sangat enggan dan sungkan bila bertemu orang Jawa,” cerita Ustadz suatu
hari.
”Suatu
hari, seorang laki-laki Batak terinjak kakinya oleh orang yang
tampangnya kejawaan. Ia menatap wajah lelaki yang menginjaknya sambil
bertanya,”Mas dari Jawa, ya?” dengan aksen Bataknya yang kental.
”Ya, saya dari Jawa.”
”Mas dari Jawa, ya?”
Dijawab kembali, ”ya.”
Merasa kaki orang itu tidak digeser, lelaki itu bertanya lagi,”Mas dari Jawa, ya?”
Dijawab sama, ”ya.”
Tiga kali ditanya dengan pertanyaan itu-itu saja, orang Jawa itu merasa heran. Ia pun bertanya, ”memangnya ada apa, Pak?”
Lelaki Batak itu balik bertanya, ”Mas tentara, ya?”
”Bukan, memangnya ada apa?”
“Kakiku kau injak, Bung!” sergahnya lebih berani.
GELAR M.M.
Ustadz Rahmat selalu memanggil istrinya, sumarni, dengan panggilan kesayangan, Nai. Suatu hari ia berujar, ”Nai, sebaiknya kamu kuliah lagi, supaya dapat gelar M.M.” Istrinya bertanya, ”M.M. papa,Bi?” Ustadz menjawab ringan, ”Marni Manyun.” Istrinya, yang awal menduga sang suami serius, akhirnya tak mampu
menahan tawa.
No comments:
Post a Comment