Menjengkelkan. Begitulah seringkali muncul perasaan apabila lampu padam. Sebuah sikap spontan di tepi sabar yang seolah terkikis oleh hilangnya cahaya. Ekspresi jengkel pun membuntuti dengan polah yang beragam.
Dari yang wajar sampai kepada yang berlebihan.
“Mamaaa, takuuut. Huuuu. Aku ga bisa lihat apa-apa. Mama di manaa ...”.
”Masya Allah, mati lampu. Padahal cuaca bagus. Mungkin ada gangguan”.
“Yah, mati lagi. Ga siang ga malam. PLN brengsek.
Iuran aja ga boleh telat. Pelayanan ga pernah meningkat. Ngakunya rugi
melulu. Dikorup tuh!”.
Setiap saat hasil budaya dan teknologi melaju
dengan cepat. Tetapi kesiapan mental untuk menghadapinya hampir-hampir
berjalan merangkak. Sebelum lampu listrik menerangi rumah-rumah kita,
kita jarang mengeluh bila malam tiba.
Gelap yang merayap perlahan
menjumpai Maghrib sampai Isya hingga menjelang Shubuh, kita sikapi
dengan amat bersahaja. Kita masih rela pergi ke Surau dan Masjid untuk
berdiri dalam shaf-shaf jamaah lalu mengaji meskipun hanya diterangi
cahaya bulan atau lampu minyak.
Lampu petromak sungguh sangat mewah kala
itu. Jarang sekali yang emosional berhadapan dengan gelap, meskipun
lampu harus mati karena kehabisan minyak. Tetapi jama’ah tetap gemuk.
Orang mengaji tetap semarak. Masjid menjadi tempat yang amat hidup di
antara Maghrib dan Isya, kemudian semarak lagi pada saat shalat Fajar di
pagi buta.
Semenjak Neon dan Bohlam menggantung di
langit-langit rumah, di Masjid-Masjid atau di Surau-Surau, manusia
seolah enggan menikmati suasana malam. Bahkan pobia gelap. Ada
kemunduran sikap mental setelah teknologi berhasil menggubah “habis
gelap terbitlah terang”. Perubahan itu, amat mencolok.
Saat aliran listrik menjalar lancar dan cahaya
lampu memenuhi setiap sudut rumah menjelang Maghrib, anak-anak lebih
memilih bersila di depan televisi atau layar facebooknya. Sinetron,
gossip, badut pengocok perut, musik, berita, sepak bola, sulap, ramalan
atau debat kusir telah menggantikan “imam” Masjid dan Surau. Atau paling
minim bergegas meninggalkan wirid dan ba’diyah agar tidak ketinggalan
setiap episode acara pavoritnya. Masjid dan Surau jarang lagi terdengar
gaung lantunan orang mengaji. Hanya cahaya lampu gantungnya yang mewah
menyirami Masjid dengan aneka warna kristalnya yang kelap-kelip. Masjid
dan Surau seolah ”mati” dalam terang.
Tapi tentu, dan harapan kita, ini hanyalah
kenyataan pukul rata. Masih ada keluarga muslim yang tidak terjebak
emosional karena teknologi. Mereka masih seperti dulu, setia dengan
panggilan ketaatan saat kumandang adzan menggema. Masih setia
membunyikan rangkaian huruf-huruf Hijaiyyah selepas Maghrib menjelang
Isya. Begitu juga masih ada banyak Masjid dan Surau yang tetap semarak.
Sebagai ”Baitullah” dan pusat pusaran yang menarik bagai magnet setiap
hati yang selalu bergantung pada-Nya. Bahkan ketika listrik padam,
spiritnya tetap menyala.
Gelap karena sebab apapun sebenarnya adalah satu
tanda dari ayat-ayat keagungan Allah. Dan manusia beriman tidaklah gagap
dalam menghadapi penomena gelap.
Pertama, karena orang beriman
amat menyadari bahwa pengalaman hidupnya justru dilewati dari kegelapan.
Di alam kegelapan itulah tubuhnya dibentuk dan ruhnya ditiupkan.
Manusia merasakan rasa aman, nyaman dan hangat di tempat yang kokoh;
rahim. Masa itu dilewatinya selama lebih kurang sembilan bulan. Masa itu
adalah masa gelap yang paling istimewa dalam kandungan ibu.
Kedua, gelap adalah instrumen untuk mengukur
kadar kebajikan. Apakah ia akan tetap cukup memiliki cahaya ketika akan
masuk ke dalam ruang gelap liang lahad sehingga alam barzakh itu akan
tetap terang, nyaman, luas dan hangat seperti kandungan ibu karena
kebajikan dan imannya menjadi suluh baginya.
Di sinilah hati yang penuh
iman akan selalu tergerak untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya sumber
cahaya sebagai teman yang akan menemaninya terbaring kaku di perut bumi
nanti sampai waktunya ia dibangkitkan. Begitu nikmatnya ia di komplek
pekuburan, sampai-sampai ia merasakan betapa cepatnya kiamat terjadi.
Bagaikan orang yang terjaga dari tidur sekejap saja seraya berujar, ”
Ah, cepat sekali waktu berlalu. Rasanya baru beberapa jam saja aku
terlelap”. Padahal bisa jadi, ia telah terbaring ribuan tahun yang lalu
terhitung sejak nafasnya berhenti.
Hati yang penuh iman selalu beramal saleh agar
kuburnya tidak menjadi kegelapan kedua tetapi menyengsarakan. Layaknya
ruang bawah tanah tanpa ada secuilpun lubang cahaya, ditambah lagi
dengan siksanya yang pedih dan seperti tak berkesudahan. Sehingga sering
mereka memohon untuk dikembalikan ke dunia untuk menjadi mushalli, atau
berinfak atau menjadi orang soleh dan berharap kapan kiamat segera
datang.
Kegelapan inilah yang membuat telinganya selalu menangkap dengung pesan Nabi. ”Berhati-hatilah kalian pada perbuatan zalim. Sebab kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat”.
Ketiga, kegelapan fisik dengan segala
manifestasinya hanyalah sinyal untuk kembali menangkap pesan Tuhan,
bahwa manusia tidak bisa menyandarkan keselamatan hidupnya hanya dengan
kekuatan fisik sebab ia sangat terbatas. Mata barulah berfungsi apabila
ada cahaya yang memantul ke retina dan menangkap bayangan di depannya.
Tetapi, apabila cahaya itu hilang, hilang pulalah fungsi mata itu. Maka
gelaplah sepanjang jarak pandang yang buta. Di sini menjadi terang,
mengapa banyak orang yang histeris ketika lampu mati.
Lalu mengapa banyak orang yang melek tetapi
hakikatnya buta? Yaitu mereka yang tidak sanggup menangkap atau enggan
menangkap kebesaran Allah melalui penglihatannya. Penglihatannya tak
pernah sejuruspun mengarah ke Ka’bah, tetapi dihabiskan untuk hal-hal
yang mengundang nafsu birahi dan kepuasan sesaat. Maka alangkah ruginya
bola mata itu jika hanya mengikuti nafsu. Dan sungguh amatlah beruntung
orang yang buta bola matanya, tetapi memiliki ketajaman menangkap cahaya
iman. Manusia mulia seperti Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ’anhu
amatlah beruntung. Orang seperti ini adalah sesabar-sabarnya mahluk di
saat lampu mati dan tidak pernah bergantung kecuali pada cahaya imannya.
Akhirnya, gelap memang mengundang sejuta respon.
Ada yang enggan. Ada yang biasa saja. Ada juga yang sengaja ingin
“gelap-gelapan”. Yang pasti semuanya ingin tetap terang sampai liang
kubur dan pada hari di mana manusia mempertanggungjawabkan amalnya
sendiri-sendiri.
Semoga kita adalah orang yang bermandi cahaya sepenuh hidup yang fana’ sampai yang baqa’. Allahu a’lam.
No comments:
Post a Comment